<< New text box >>
<
< New text box >>
Jakarta - Menceritakan kisah hidup paman buyutnya, Raden Saleh Syarif Bustaman, nampaknya membuat Dr. George H. Hundeshagen bersemangat. Kepada detikHot melalui surat elektronik pada Kamis (29/8/2013), ia menjelaskan sekelumit kisah sang maestro.
"Raden Saleh kehilangan ayahnya sejak ia masih sangat muda. Ia pun meninggalkan negerinya saat masih terbilang remaja," ujar George.
Menurut George, Raden Saleh sangat bahagia saat berada di daratan Eropa. Karena disini ia diterima sebagai seorang seniman. "Suatu hal yang cukup sulit dilakukan,
dibawah peraturan kolonial saat itu."
George sendiri meneliti Raden Saleh melalui banyak moda, salah satunya dengan mengumpulkan surat-surat Raden Saleh. Ia kini memiliki sekitar 95 surat Raden Saleh di
tangannya dan ia berencana untuk menjadikan kumpulan surat ini sebagai buku berbahasa Inggris dan Indonesia.
"Namun ini akan sangat memakan waktu, karena ini ditulis dalam bahasa Jerman pada Abad 19, yang sulit diterjemahkan. Karena beberapa ekspresi sudah tidak ada
lagi."
George pun mengirimkan kepada detikHOT versi digital dari sebuah surat Raden Saleh yang ditujukan kepada temannya. Ia menuliskan ini ketika berada di Paris, tepatnya
pada 27 Desember 1845.
"Yang menarik dari surat ini adalah, ia melampirkan sketsa dari rumahnya di Paris, lengkap dengan penjelasannya. Rumah ini berada di dekat jalan Champs Elysées yang
terkenal, namun kini rumah tersebut tentu saja sudah tidak ada," jelas George.
Pria berusia 62 tahun ini juga menjelaskan soal kedekatan hubungan Raden Saleh dengan kolonial Belanda. Pertama ia menjelaskan soal sejarah keluarganya.
Dua orang sepupu dari Raden Saleh Syarif Bustaman, yang bernama Raden Sukur atau nama aslinya Raden Panji Adi Negara, juga yang bernama Raden Saleh alias Arya
Natadiningrat adalah putra dari Bupati Semarang Kyai Adipati Suryamangalla atau Suraadimanggala. Keduanya ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro.
Karena ini ayah dan adik dari Raden Sukur ditangkap oleh Belanda pada tahun 1825. Mereka dipenjara di tahanan 'Maria van Reygersbergen' kemudian dikirim ke Surabaya dan
masuk tahanan 'Pollux'.
Setelah itu mereka diasingkan ke Ambon dan Sumenep. Hingga Kyai Adipati Suryamangalla, meninggal disana Pada 20 Juli 1827. Raden Sukur yang terus setia pada Pangeran
Diponegoro pun akhirnya ditangkap pada 26 Juli 1829.
"Seperti apa yang Anda lihat, keluarga kami sangat menderita. Karena dukungan setia untuk Pangeran Diponegoro dan tujuan mulianya. Mereka juga dianggap aib oleh
kekuasaan kolonial Belanda," kata George.
Namun pemerintah Belanda sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan Raden Saleh. Setelah Raden Saleh diberangkatkan ke Belanda, kesuksesannya sebagai pelukis pun
dimulai.
Bagi George ada pergolakan batin di dalam diri Raden Saleh yang dicerminkan melalui karya-karyanya. "Ia menggambarkan kapal di laut terkena badai, bahkan bangkai kapal.
Lukisan-lukisan ini mencerminkan kekacauan batin dan penderitaan besar atas pendudukan Belanda di Jawa," ujarnya
Dalam pandangan George, paman buyutnya ini membuktikan melalui seni bahwa Jawa dan Belanda setara dalam tekhnik melukis. "Ia membawa dirinya pada tingkat yang sama dan
membuatnya bisa memandang sejajar kekuatan kolonial."
Namun banyaknya versi dan kesalahpahaman akan Raden Saleh, menurut George karena Raden Saleh yang menguasai lima bahasa dengan fasih ini, menapaki panggung modernisasi
budaya dan sosial Jawa terlalu dini. Ia membuktikan bahwa Orang Jawa bisa mengungguli teknik dalam budaya eropa.
Lukisan Raden Saleh juga yang pertama dijadikan topik representasi, interpretasi dan komentar dalam rumpun seni rupa Asia Tenggara.
Raden Saleh merupakan seniman Asia Tenggara pertama yang dengan percaya diri berada di baris depan, setara dengan elit politik. "Ini adalah sikap modern. Ini prasyarat
awal dari sebuah era baru, prasyarat untuk modernitas," kata George.